Jembatan Suramadu (JS) diperkirakan selesai mei 2009 (Radar Madura, 1 Desember 2008). Sehingga, seluruh komponen masyarakat Madura “mau-tidak mau” harus bersiap diri untuk memasuki babak baru Madura. Kini, banyak ahli dan para pakar duduk bersama untuk membicarakan perencanaan pembangunan Madura dengan dimediasi oleh Universitas Trunojoyo (UNIJOYO), mereka terus melakukan langkah demi kesiapan Madura secara fisik maupun non-fisik. Salah satu langkah penting yang dilakukan adalah Rapat Koordinasi empat kabupaten di Madura dengan mengundang seluruh penguasa masing-masing daerah (baca: Bupati). Para pakar tersebut ingin mendengar rencana dan strategi para bupati dalam mempersiapakan daerahnya masing-masing, sehingga beberapa rekomendasi yang dihasilkan mereka nantinya sinergis dengan keinginan daerah. Tapi, sayang, usaha tersebut tak kunjung membuahkan hasil. Masing-masing daerah –rupanya-- mempunyai ego sentries yang tinggi, hingga untuk sekadar duduk bersama saja pun tidak bisa hadir. Ironis.
Sungguh pun demikian, membincang persiapan Madura pasca Suramadu, yang selalu kita dengar adalah persiapan fisik daerah. Kita sering dipusingkan, misalnya, dengan rencana pembangunan pelabuhan di pantura (pantai utara) Madura yang saat ini menjadi proyek “rebutan” dua kabupaten (baca: Pamekasan dan Sampang). Belum lagi dengan rencana perluasan jalan protocol, bahkan sampai refungsionalisasi lapangan terbang (lapter) Trunojoyo. Kalau kita mau jujur, tidak salah memang, mempersiapkan Madura pasca Suramadu dari factor pembangunan fisik (physically building). Toh, yang sedang kita bicarakan sekarang adalah pembangunan jembatan Suramadu yang jelas-jelas berupa bangunan fisik. Namun, kali ini, penulis coba mengajak pembaca untuk sekadar melihat persiapan pembangunan “moral” masyarakat Madura pasca Suramadu. Pertanyaannya, kenapa harus pembangunan “moral”? Bukankah masalah moral sudah menjadi konsumsi pesantren dengan segenap civitas di dalamnya?
Memang, pesantren ibarat “rumah” dalam membangun moral para santri-santrinya yang telah berdiri sejak lama. Bahkan, masyarakat Madura –hampir 60 %-- mengenyam pendidikan moral ala pesantren ini meskipun hanya setingkat Madrasah Ibtidaiyah. Jadi tidak berlebihan kalau pesantren dikatakan sebagai “rumah” pembangunan moral. Maka dari itu, seluruh santri dan civitas pesantren memikul beban besar sebagai “aktor” utama pengawal moral.
Nah, yang menjadi kegelisahan penulis berkenaan dengan hampir selesainya proyek pembangunan jembatan Suramadu (JS) ini adalah masa depan moral masyarakat Madura itu sendiri. Di mana, hampir bisa dipastikan, setelah JS ini rampung, transformasi budaya; baik lokal maupun internasional sudah tidak bisa terelakkan lagi. Di samping itu, penyelundupan barang-barang haram perusak moral masyarakat dan penyakit masyarakat (pekat), seperti: Narkoba, PSK (Pekerja Seks Komersial), perampokan dan lain sebagainya tidak bisa kita bayangkan (wong, jembatannya belum jadi saja sudah sangat mengkuatirkan). Sementara itu, pesantren yang sejak semula –diyakini—sebagai “rumah” pembangunan moral yang tersebar di seantero pulau garam, sedikit demi sedikit mulai kurang mendapat peminat, apalagi perhatian dari pemerintah. Masyarakat menilai –terutama setelah terkena virus “materialistic”—bahwa pesantren tidak bisa diharapkan banyak dari aspek materi. Sedangkan pada umumnya, masyarakat saat ini –lebih-lebih pasca JS nanti—sibuk dan disibukkan oleh materi.
Lalu apa yang seyogyanya kita lakukan? Sebagai seorang santri, penulis ingin merekomendasikan kepada seluruh Bapak Bupati di Madura dan semua stake holder yang mempunyai kepedulian terhadap pembangunan Madura –khususnya dalam pembangunan “moral”—untuk tetap mempertahankan pesantren sebagai “rumah” pembangunan moral yang benar-benar dijadikan rumah oleh masyarakatnya. Ya, layaknya sebuah rumah yang ditinggali oleh penghuninya dengan nyaman (feel at home), maka fasilitas dan kebutuhannya mestinya terpenuhi secara memadai. Kedua, mengajak pemerintah untuk memfungsikan “rumah moral” ini secara optimal dalam mengawal dan mempersiapkan generasi Madura yang bermoral dan ber-akhlakul karimah. Hal ini, tentu dengan cara merangkul pesantren dan segenap civitas di dalamnya yang berkompeten untuk turut merancang dan mempersiapkan pembangunan Madura pasca Suramadu. Wallahu a`lam.
Oleh, Nurul Hadi Abdi, Lc.
* Tulisan ini dimuat di Radar Madura pada tanggal 17 Desember 2008.
0 komentar:
Posting Komentar